Malam kamis, 5 November 2008 diawali kesunyian di ujung kamar 1 putri. Tak ada yang aneh sepanjang jam handphone berlalu menunjukkan pukul 7.30, jam dinding pun diam, terpaku seolah tak memperdulikan azan isya yang berkumandang melewati gelombang radio.
Anak-anak asrama kamar 1 putri pun asyik dengan kegiatannya, mewarnai perspektif ruangan yang menjadi angan-angan mereka kelak. dan sekali lagi tak terasa ada yang aneh. Maybe lum ada ja…
Tiba-tiba terdengar suara yang kami rasa kuat untuk ukuran suara perempuan dan suaranya pun terdengar lebih dari satu sumber. Sontak mimpi-mimpi kami akan indahnya warna-warni dunia krayon berhamburan, hilang. Yang indah dan kepuasan menatapi hasil iamjinasinya tadi, kini terbang dan berganti dengan ketakutan. Ketakutan yang tak tahu apa yang ditakuti oleh tiap-tiap individunya.
Jeritan itu semakin kuat dan semakin membuat kami yang tak tahu kronologi malam itu, terpaku seperti orang bodoh ketika menatapi wajah-wajah yang ke luar dari kamar 6 putri.
Tembok semampai, semeter mungkin sampai, menjadi saksi bisu untuk pertama kalinya dilompati oleh anak laki-laki dan 2 guru cowok. “Seluruh anak laki-laki berhamburan ke luar, ada yang telah berada di atas ranjang atas, langsung terjun bebas ke bumi”, tutur salah saatu anak perempuan yang bercerita keesokan harinya.
Ada siswa yang melihat seseorang berlari di balik kegelapan malam, menelusuri lewat semak. “Woiiiiiiiiii, tu dio!!!!!”, teriak dia. Serempak anak laki-laki berlari, mengejar sesuatu yang aneh tadi dengan masing-masing melengkapi diri mereka alat-alat sewajarnya. Dari sesuatu yang kecil, seperti batu sampai parang yang belum terbukti sejauh mana ketajamannya.
Ketakutan kembali menghantui untuk kedua kalinya ketika terdengar teriakan siswi yang memanggil-manggil nama guru. Ia berteriak karena kawatir melihat ada yang membayang-bayangi guru tersebut dimana guru tersebut sendirian dalam gelapnya malam yang tak berbintang.
Kembali ke aktris-aktris kamar 1 putri yang juga merasakan ketakutan, secara kami juga perempuan. Salah satunya kami memutuskan untuk “mengungsi” ke tempat yang kami rasa aman, yang tak lain tak bukan adalah tempat Pak Krisna. Ada semacam guronana kecil dan cukup menghilangkan ketegangan semalam. “Kamar 6 putri yang mengalaminya dan yang menjadi pemain utama, kok kamar 1 putri yang meninggalkan kamar dan mengungsi ke tempat lain”.
Aktris-aktris dari kamar 1 putri siap dengan perlengkapan booknya, bantal, guling, kemul, dan lain-lain, termasuklah harta benda, seperti hp dan uang. Langkah tersebut diambil dengan banyak pertimbangan dalam waktu secepat mungkin. Di lain tempat, kamar 6 putri menangis. Tangisan mereka seirama dengan langit pada malam itu. Hujan juga mengiringi perjuangan kami ke tempat pengungsian kami.
Kami pun belum bisa tidur pada saat itu, begitu juga siiwa-siswi di asrama. Malam semakin larut, situasi dirasa cukup terkendali. Satu persatu anak laki-laki meninggalkan teras yang berusaha mengawasi keamanan asrama, terutama mengawasi asrama siswi. Malam bertambah larut, hujan seamkin deras. Tak beberapa lama hujan reda.
Kami pun bisa tidur dengan nyenyak. Semuanya kembali ke keadaan semula. Tidak ada lagi yang perlu dikwatirkan. Asalkan kita menjaga diri kita sendiri, menjaga ketentraman dan kedamaian, kita juga kan mendapatkan apa yang kita jaga. Tak perlu mencari siapa pelaku dan apa alasan dari ketidaksengajaan peristiwa malam itu, tapi yang perlu kita cari tahu adalah hikmah di balik semua itu. Setuju ga’?
Cerita di atas sekedar informasi belaka, bila ada kesamaan tempat, waktu, dan situasi yang dirasa terlalu berlebihan, itu semua pengalaman yang tertoreh lewat ketikan tangan sebelas jari. Jadi bila ada pihak yang merasakan kerugian dan kekecewaan akibat membaca atau mendengarnya, senang tidak senang, ikhlas tidak ikhlas, semuanya harus senang dan harus ikhlas. Karena ketidaksenangan dan ketidakikhlasan sekarang kan terbawa pada saat tatapan ke depan.
0 comments:
Post a Comment